1 April 2014

Ciri Generasi Pengubah: Cinta, Harmoni dan Kerja

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah : 54)

Sejarah selalu berulang. Dan dalam perulangan sejarah itu, terjadi cerita tentang keadaan umat manusia yang berulang kali menyimpang dari jalan yang benar, dan berulang kali datang kelompok yang menyeru mereka untuk kembali ke jalan yang lurus.

“Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya ter-dapat setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau mem-baca firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala , ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mence-raiberaikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintah-kan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153) (Hadits shahih riwayat Ahmad dan Nasa’i)

Begitu apik Rasulullah melakukan pengajaran pada umatnya. Melalui sebuah grafik visual, sehingga para pembelajar yang kuat daya visualnya akan menangkap kuat kesan itu di otak.

Garis yang lurus itu dihuni oleh Nuh a.s., Hud a.s., Sholih a.s., Ibrahim a.s., Luth a.s., Syu’aib a.s., dan para nabi beserta para pengikutnya. Itu adalah kelompok reformis yang mencoba mengubah kondisi ruh masyarakat yang telah lusuh menjadi segar kembali.

Sedangkan orang-orang yang berada di garis yang ada di kanan dan kiri garis yang lurus itu adalah penyembah suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr; pelaku sodomi; pembunuh unta betina milik Allah; pedagang yang curang; dan kaum penyimpang lainnya.

Hati bisa menjadi lusuh. Umat bisa menjadi keruh. Karena itu perlu di-refresh. Disegarkan kembali.

Ketika datang seseorang mengeluh betapa hari-hari belakangan iya dilanda bad mood, Ibnu Mas’ud menasehati orang itu agar membaca Al-Qur’an, mendatangi majlis ilmu, dan atau berkhalwat kepada Allah di malam pekat. Pesannya pada orang itu, “Hati bisa lusuh. Mintalah kepada Allah hati yang baru.”

Oleh karena itu, ruh umat ini juga bisa menjadi lusuh manakala telah terjadi penyimpangan di tengah mereka. Dan Imam Hasan Al-Banna pun melakukan personifikasi pada ruh umat, saat berpesan pada barisan du’at yang ikhlas, “Kalian adalah ruh baru di tengah umat.” Sebuah ungkapan yang terkenal di kalangan du’at.

Ruh baru. Adalah kelompok istimewa yang menyeru hal-hal yang ma’ruf pada umatnya, dan mencegah terjadinya kemunkaran.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali-Imran: 104)

Ruh baru inilah yang Allah sebut dalam Al-Maidah ayat 54 di atas, akan didatangkan manakala umat manusia telah “membelakangi” agama yang lurus.

Dalam ayat tersebut Allah swt telah menjelaskan tentang ciri-ciri generasi yang mencoba mengubah kondisi masyarakat. Tiga kata yang merangkum ciri kelompok tersebut adalah: cinta, harmoni, dan kerja.

Cinta

Kaum yang bekerja dengan cinta itu digambarkan oleh Allah swt dengan kata-kata, “kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” Suatu kemestian agar cinta yang sakral tetap berada di muka bumi. Bila umat manusia membangkang, membelakangi agama yang lurus, dan menyepelekan kekuatan cinta kepada Allah swt, maka bisa dipastikan umat tersebut berada dalam ujung kepunahannya. Ini adalah janji Allah, bahwa Allah akan menggantikan mereka dengan kaum yang menjaga cinta.

Cinta kepada Allah tentu saja memiliki berbagai turunannya. Ia bisa berupa aktivitas mencintai Rasulullah karena Allah, mencintai orang tua karena Allah, mencintai jihad karena Allah, mencintai objek dakwah karena Allah. Cinta kepada Allah eksis dalam berbagai dimensi aktivitas manusia, yang diniatkan untuk mencari ridho Allah. Maka penuhlah gerakan generasi pengubah itu dengan cinta.

Imbal baliknya, Allah swt juga mencintai generasi pengubah. Bahkan respon Allah lebih cepat dari manusia. Dan cinta Allah swt meski tak mungkin diterjemahkan dalam kuantitas, namun bisa dipastikan lebih besar dari cinta manusia dengan segala keterbatasannya.

“Aku sesuai dengan sangkaan hamba-Ku, dan Aku bersamanya jika dia mengingati-Ku. Jika dia mengingati-Ku dalam dirinya, pasti Aku mengingatinya dalam diri-Ku. dan jika dia mengingati-Ku dalam suatu himpunan (majlis), pasti Aku mengingatinya dalam majlis yang lebih baik dari mereka. Dan jika dia mendekatiku sejengkal, pasti Aku mendekatinya sehasta, dan jika dia mendekati Aku sehasta, pasti Aku mendekatinya sedepa. Dan jika dia datang kepada-Ku berlari, pasti Aku datang kepadanya berlari-lari kecil.” (HR Bukhari)

Harmoni

Filosofi yang terkenal dari Cina adalah Yin Yang. Ringkasnya, Yin Yang menggambarkan dua karakter berlawanan, namun mampu membangun dan membentuk harmoni.

Gambaran karakter berlawanan namun membangun harmoni itulah yang ada pada watak generasi pengubah. Cirinya: “yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” Kelembutan dan watak keras terpadu pada sebuah pribadi, dan tersalur pada objek yang tepat.

Islam mengenal harmoni dari dua karakter berlawanan. Misalnya Islam menyuruh manusia mencari akhirat, namun melarang untuk melupakan dunia. Atau ada istilah bagi tentara Islam: “Rahib di malam hari, dan penunggang kuda yang hebat di siang hari.”

Dan begitulah yang diramu dalam karakter lembut dan tegas dari seorang generasi pengubah: sebuah harmoni penyikapan. Kelembutan ia praktekkan pada sesama mukmin yang hatinya terikat pada Allah swt, dan ketegasan ia lampiaskan pada manusia yang tidak mau tunduk pada aturan Allah swt.

Namun watak keras dan tegas itu bukan berarti menghapus kewajiban bersikap adil dan berlaku baik pada orang kafir.

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Pada tataran implementasi, semua itu fleksibel. Kata “a-‘izzatin” (berarti kemuliaan, kekuatan, atau wibawa; dalam ayat ini diterjemahkan dengan “bersikap keras kepada orang kafir”) ini mestinya terterapkan dalam semua dimensi. Umat Islam punya ‘izzah dalam ekonomi sehingga tak ditindas kaum kafir pendatang. Umat Islam punya ‘izzah dalam kekuatan kemiliteran sehingga tak ditindas negeri kafir tetangga. Umat Islam punya ‘izzah dalam pendidikan sehingga tak perlu menempuh perjalanan jauh ke negeri kafir yang begitu rusak moralnya hanya demi mendapatkan gelar pendidikan. Generasi pengubah harus siap mengisi berbagai dimensi kehidupan dengan ‘izzah umat Islam. Sehingga terpenuhilah karakter “a-‘izzatin ‘alal kafirin”, “memiliki ‘izzah atas kaum kafir.”

Kerja

Dan ciri yang terakhir adalah karakter pekerja. “Yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”

Jihad membutuhkan kerja keras dan mental baja, karena jihad selalu dibayangi oleh celaan orang yang suka mencela. Perhatikanlah bagaimana orang-orang munafik Madinah mengolok-olok kaum muslimin sepulang dari perang Uhud. Celaan orang munafik ibarat garam yang ditabur di atas luka yang didapat dari medan jihad. Mereka dengan sombongnya menganggap orang muslim tak mengerti taktik berperang, dan berkata sekiranya orang munafik itu yang ada di medan perang, tentu umat muslim tak dilanda kekalahan. Celaan yang menyakitkan.

Tapi respon dari celaan itu adalah dengan tetap berjihad hingga datang suatu pembuktian. Jaraknya tak terlalu jauh dari celaan orang kafir itu hingga Rasulullah dengan jihadnya mampu menaklukkan Mekkah. Fokus bekerja, dan pembuktian itu datang atas kehendak Allah swt.

Begitulah karakter generasi pengubah. Mereka generasi pekerja yang mencoba menjadi anti-mainstream dengan mengajak umat kembali ke jalan yang lurus. Hal yang tidak popular di tengah umat yang telah membelakangi agamanya. Dan tentu saja menjadi anti mainstream identik dengan celaan. Karena itu bersiaplah, jangan takut dengan celaan orang yang suka mencela!

Ulama telah menerangkan bahwa jihad ada pada berbagai dimensi kehidupan umat Islam. Ada jihad dalam bentuk ekonomi, ada jihad dalam bentuk mencari ilmu. Dan tentu saja jihad yang utama adalah konfrontasi, termasuk menyiapkan kekuatan yang bisa menggentarkan musuh Allah.

Untuk mengubah masyarakat memerlukan jihad di berbagai aspek kehidupan. Saat masyarakat terbiasa dengan ekonomi riba, tak ada lain cara mengubahnya adalah dengan jihad. Saat masyarakat berpandangan sekuler karena kurikulum yang didapatnya begitu, maka jalan jihad adalah cara untuk mengubah kurikulum pendidikan. Dan begitu juga berlaku untuk dimensi kehidupan yang lain.

Jadi, pilihlah, apakah ingin menjadi kaum yang diganti, atau menjadi generasi pengganti? Syaratnya sudah jelas.



Catetan terbaru

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Al-Qur'an

Media bacaan FMI Fakultas Teknologi Pangan Dan Agroindustri

Social Icons

Followers

Featured Posts